Pendahuluan: Krisis Iklim
Saat kita melihat berita, atau sekedar scrolling di sosial media, istilah Perubahan Iklim dan Pemanasan Global mungkin lazim kita temui. Semua orang membahas mengenai ancaman perubahan iklim, banyak korporasi yang berlomba-lomba memasarkan produknya dengan label “green“, dan aktivis lingkungan sering kali menyuarakan betapa pentingnya kita menjaga bumi dari bahaya pemanasan global.
Pemanasan global ini bukanlah sekedar isu viral saja, melainkan ancaman yang nyata. Para ilmuan sudah mulai sadar bahwa iklim berubah sejak tahun 1958 (1), namun pada tahun 1979 lah, isu mengenai perubahan iklim baru mulai diangkat ke forum internasional, yaitu World Climate Conference. (2)
Hal yang menjadi sorotan dalam 1979 World Climate Conference adalah meningkatnya suhu bumi akibat bertambahnya gas rumah kaca (greenhouse gas), yaitu Karbon dioksida (CO2). Karbon dioksida merupakan residu dari aktivitas pembakaran, yang lazim dilakukan selama masa revolusi industri hingga saat ini. Konferensi ini menjadi titik awal dalam upaya mencari alternatif lain selain pembakaran, untuk menjalankan berbagai aktivitas manusia dari produksi sampai transportasi.
Semua berawal dari revolusi industri
“All of our climate problem is related to how we harness energy.”
Meningkatnya jumlah zat rumah kaca di atmosfer tidak lepas dari revolusi industri. Revolusi industri merupakan perubahan massal dalam cara manusia memproduksi barang dan jasa. Revolusi industri ini salah satunya ditandai dengan adanya penemuan mesin uap (steam engine) oleh James Watt. Mesin ini mengubah pembakaran menjadi sumber energi.
Pembakaran sebenarnya sudah dimanfaatkan manusia sejak sebelum revolusi industri, namun penggunaannya terbatas untuk menghangatkan ruangan, penempa besi, maupun membuat kerajinan tembikar. Sejak penemuan mesin uap oleh James Watt, pembakaran berubah dari sekadar sumber panas, menjadi sumber tenaga.
Prinsip kerjanya sederhana: bahan fosil dibakar untuk memanaskan air hingga mendidih. Uap yang dihasilkan kemudian dialirkan melalui pipa sempit, menciptakan tekanan yang mendorong piston. Piston inilah yang mengubah panas dari uap menjadi gerakan mekanik. Tanpa sistem piston ini, tidak akan ada mesin-mesin modern seperti yang kita kenal saat ini.
[Gambar Cara Kerja Piston]
Dunia mulai berubah, ekonomi membaik
Sejak penemuan mesin uap ini, pembakaran mulai dilakukan secara besar-besaran. Gerakan mekanik dari piston dapat dimanfaatkan untuk menggerakan roda, sehingga mempermudah mobilisasi. Gerakan mekanik piston yang berulang ini juga cocok untuk mengerjakan pekerjaan berulang seperti memutar roda gigi di pabrik, mengangkat beban yang berat dan dan menggerakan roda pemintal benang. Hal ini menyebabkan efisiensi di berbagai sektor industri, sehingga produksi barang meningkat pesat dan stok barang mulai melimpah.
Peningkatan efisiensi dan melimpahnya stok barang ini akhirnya berdampak langsung pada kehidupan masyarakat. Biaya produksi yang lebih rendah membuat harga barang menjadi lebih terjangkau, membuka akses konsumsi bagi lebih banyak orang.
Sektor industri pun berkembang pesat, menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Perlahan tapi pasti, Produk Domestik Bruto (GDP) negara-negara industri mulai meroket, sehingga munculah budaya baru: konsumerisme. Masyarakat mulai terbiasa membeli barang bukan hanya karena kebutuhan, tapi juga karena keinginan dan gaya hidup, menandai masa baru dalam sejarah ekonomi modern, di mana kekayaan mulai tersebar lebih luas di lapisan masyarakat dan munculnya kelas ekonomi yang baru, yaitu kelas menengah, yang sekarang mendominasi socioeconomic class.
Namun, di balik kemajuan perekonomian ini, ada dampak besar terhadap lingkungan. Pembakaran batu bara secara masif melepaskan gas rumah kaca dan polutan ke atmosfer. Kota-kota industri dipenuhi asap, dan sungai-sungai tercemar oleh limbah pabrik. Revolusi Industri bukan hanya tentang kemajuan teknologi, tapi juga menjadi titik awal dari permasalahan lingkungan global yang kita hadapi saat ini.
Mulai muncul masalah kesehatan dan lingkungan
Seiring dengan meningkatnya aktivitas pembakaran sejak era mesin uap, masalah kesehatan akibat polusi udara mulai muncul. Partikel-partikel berbahaya yang dihasilkan dari asap kendaraan dan pabrik masuk ke dalam sistem pernapasan, menyebabkan berbagai penyakit seperti asma, bronkitis, dan gangguan paru-paru lainnya.
Tak hanya berdampak pada kesehatan individu, polusi udara juga mulai merusak lingkungan secara lebih luas. Hutan-hutan yang dulunya menjadi paru-paru dunia perlahan kehilangan areanya, sementara kota-kota besar diselimuti kabut asap yang menutupi langit. Sungai dan danau pun tercemar akibat limbah industri, memengaruhi rantai makanan dan kesehatan masyarakat secara tidak langsung.
[Gambar industri]
Di saat yang sama, lonjakan produksi dan konsumsi energi terjadi secara eksponensial. Negara-negara maju bersaing dalam industrialisasi dan ekspansi ekonomi, tanpa memperhatikan dampak jangka panjang terhadap lingkungan. Karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya mulai terakumulasi di atmosfer, menciptakan efek rumah kaca yang menahan panas bumi.
Fenomena pemanasan ini, yang awalnya terdengar seperti teori ilmiah semata, perlahan menunjukkan gejalanya: musim menjadi tidak menentu, mencairnya es di kutub, dan meningkatnya frekuensi bencana alam seperti banjir dan tornado.
Kesadaran lingkungan mulai muncul
Masalah lingkungan ini membuat para ilmuwan mulai mengangkat suara. Studi demi studi diterbitkan, memperingatkan bahwa pola industri modern ini merusak iklim bumi. Namun, perhatian publik masih tertuju pada pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, dan ancaman lingkungan pada saat itu masih terasa jauh. Media pun belum banyak menyoroti isu ini, dan sebagian besar pemerintahan lebih fokus pada stabilitas dan ekspansi ekonomi.
[Gambar World Climate Conference]
Namun pada tahun 1979, titik balik sejarah pun tercipta. Untuk pertama kalinya, pemimpin dunia berkumpul dalam World Climate Conference yang diadakan oleh World Meteorological Organization (WMO). Di sinilah para ilmuwan, diplomat, dan pemimpin dunia duduk bersama membahas satu isu yang akan mendefinisikan masa depan umat manusia, yaitu perubahan iklim.
Pada konferensi ini, para ilmuwan dan pemimpin dunia secara resmi mengakui bahwa perubahan iklim merupakan masalah yang nyata yang dipicu aktivitas manusia, yaitu pembakaran bahan bakar fosil. Meskipun belum menghasilkan kebijakan langsung, konferensi ini menjadi langkah awal yang mendorong lahirnya IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebuah badan internasional yang hingga kini menjadi rujukan utama dalam penelitian iklim.
Konferensi ini bukanlah akhir dari masalah, namun menjadi awal dari kesadaran global, bahwa aktivitas produksi yang melibatkan pembakaran dapat menyebabkan masalah lingkungan yang serius, dan masa depan kita bergantung pada keputusan yang diambil oleh pemimpin dunia. Sejak saat itu, upaya mencari alternatif energi lain yang lebih bersih dan ramah lingkungan mulai dilakukan sebagai respons terhadap ancaman pemanasan global.
Adakah alternatif lain selain pembakaran
Sejak dahulu, manusia sebenarnya sudah menggunakan energi terbarukan. Kincir angin, bendungan air, dan kapal layar adalah contoh bagaimana kita mengandalkan kekuatan alam sebelum era bahan bakar fosil. Kini, ketika masalah mulai bermunculan akibat pembakaran masif, kita mulai melirik kembali energi terbarukan sebagai alternatif dari pembakaran.
Salah satu bentuk energi terbarukan paling awal yang berhasil dimanfaatkan secara besar-besaran adalah hidropower alias tenaga air. Sejak ratusan tahun lalu, manusia sudah menggunakan aliran sungai untuk menggerakkan kincir air yang membantu menggiling gandum atau memompa air. Tapi lompatan besar terjadi di akhir abad ke-19, ketika tenaga air mulai digunakan untuk menghasilkan listrik. Pada tahun 1882, sebuah pembangkit listrik tenaga air pertama dibangun di Appleton, Wisconsin, yang menandai awal dari era listrik bersih berbasis air (7). Dari situlah hidropower berkembang jadi sumber listrik utama di banyak negara, karena energinya stabil, andal, dan tidak menghasilkan emisi karbon.
Setelah tenaga air, angin menjadi sumber energi terbarukan berikutnya yang mulai dimanfaatkan lebih serius. Sejak abad pertengahan, kincir angin telah digunakan di berbagai belahan dunia untuk memompa air dan menggiling gandum, terutama di wilayah seperti Belanda.
Perkembangan besar terjadi pada tahun 1888, ketika Charles F. Brush membangun turbin angin pertama yang mampu menghasilkan listrik di Ohio, Amerika Serikat. Meski teknologinya masih sederhana, turbin ini cukup untuk menyuplai listrik ke rumah dan laboratoriumnya—menandai awal dari era pembangkit listrik tenaga angin modern.
Energi panas bumi atau geothermal adalah jenis energi yang berasal dari panas alami dalam lapisan bumi. Energi ini diperoleh dengan memanfaatkan uap atau air panas yang keluar dari bawah tanah untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik atau digunakan langsung sebagai sumber panas. Keunggulan utama energi geothermal adalah ketersediaannya yang hampir selalu stabil dan tidak bergantung pada cuaca, membuatnya menjadi sumber energi yang andal dan ramah lingkungan.
Selain itu, ada juga energi biomassa yang berasal dari bahan organik seperti sisa tanaman, limbah kayu, atau sampah organik. Melalui proses pembakaran atau konversi biologis, biomassa menghasilkan energi yang dapat digunakan untuk listrik, panas, atau bahan bakar. Selain menyediakan energi, biomassa membantu mengurangi limbah dan mengurangi emisi gas rumah kaca jika dikelola dengan benar, sehingga menjadi pilihan energi terbarukan yang juga berkontribusi pada pengelolaan lingkungan.
Energi surya
Terakhir, tenaga surya menjadi salah satu sumber energi terbarukan yang paling menjanjikan di masa kini dan masa depan. Dengan panel fotovoltaik, sinar matahari diubah langsung menjadi listrik tanpa emisi polutan. Energi surya sangat melimpah dan dapat dimanfaatkan hampir di seluruh permukaan bumi. Perkembangan teknologi panel surya terus menurunkan biaya pemasangan dan meningkatkan efisiensi, menjadikannya solusi energi yang sangat fleksibel dan mudah diakses, dari atap rumah hingga pembangkit listrik skala besar.
Meskipun harga panel surya masih mahal, namun dalam satu dekade terakhir harga panel surya sudah menurun drastis—lebih dari 80%. Hal ini membuat listrik tenaga surya kini menjadi lebih murah dibanding listrik dari batu bara di banyak negara. Negara-negara seperti China, India, dan Jerman bahkan sudah menaruh investasi besar-besaran di sektor ini.
Dari semua jenis energi terbarukan, tenaga surya menjadi bintang utama. Sumbernya tak terbatas, skalanya fleksibel, dan teknologinya terus berkembang. Solar panel bisa dipasang di atap rumah, gedung, hingga skala industri. Dunia pun berlomba-lomba menyerap sinar matahari sebagai listrik masa depan.
Realita saat ini
Sayangnya, walaupun energi terbarukan sudah terkesan terjangkau dan mulai diadopsi. Komposisi energi dunia saat ini masih didominasi oleh batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Energi terbarukan hanya menyumbang sekitar 20%, dengan tenaga air sebagai pemain utama. Tapi tren ini mulai bergeser, terutama karena biaya produksi energi terbarukan terus menurun.
Jika adopsi energi terbarukan masih berjalan dengan kecepatan seperti sekarang, kita bisa mengganti hampir seluruh kebutuhan energi fosil dalam kurun waktu beberapa dekade ke depan — biasanya diperkirakan antara 30 hingga 50 tahun. Namun, tantangan besar masih ada, mulai dari infrastruktur yang perlu diperbarui, kebijakan yang harus mendukung, hingga adaptasi teknologi di berbagai negara.
Percepatan transisi energi ini sangat penting agar target pengurangan emisi karbon dan keberlanjutan lingkungan bisa tercapai. Dengan inovasi teknologi, dukungan kebijakan, dan investasi yang tepat, masa depan energi dunia bisa jadi lebih bersih, hijau, dan tentu saja lebih berkelanjutan.
Indonesia punya potensi besar, tapi realisasi masih minim. Dari lebih 200.000 MW potensi tenaga surya, kita baru memanfaatkan kurang dari 1%. Namun, target 23% EBT di tahun 2025, program PLTS Atap, dan proyek hijau daerah seperti di Bali adalah langkah awal menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Penutup
Pada akhirnya, kita hanya memiliki satu Bumi. Politik, makroekonomi dan kapitalisme seringkali punya agenda masing-masing, tetapi ancaman perubahan iklim adalah kenyataan yang tidak bisa diabaikan. Satu-satunya jalan keluar adalah dengan menurunkan ego masing-masing dan bekerja sama menghadapi musuh bersama ini.
Berpindah ke energi terbarukan memang bukan hal yang mudah, namun manfaat yang akan kita dapatkan sangatlah besar.
Sebagai warga negara biasa, langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah: memilih pemimpin yang peduli lingkungan, mengedukasi dan berdiskusi tentang pentingnya keberlanjutan, serta mulai menggunakan energi terbarukan sedini mungkin.
Jika bukan kita yang memulai perubahan, lalu siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Mari kita bersama-sama menjaga Bumi, rumah satu-satunya yang kita miliki.
Source:
Renewable energy – powering a safer future | United Nations
How have the world’s energy sources changed over the last two centuries? – Our World in Data
Milestones:Vulcan Street Plant, 1882 – Engineering and Technology History Wiki
Tinggalkan Balasan